MAWAR
HITAM
Kuterus memandangi toko bunga itu. Tak ada yang menarik.
Tampak sepi, tak ada pembeli. Sebangian bunganya pun terlihat tak terurus. Para
pembeli kebanyakan ikut merasakan keanehan yang ada di toko bunga itu. Termasuk
aku. Tiap sore aku selalu melewati toko bunga itu. Entah mengapa rasanya…..
memang aneh
“ Fara!
Kok kamu bengong sih? Ada apa?” teriak Nisa mengagetkanku.
“Oh, aku gak apa apa kok. Ayo kita pulang!” jawabku
sambil meneguk secangkir kopi terakhir.
“Fara, nanti kalau kamu jenguk Ima, kamu mau kasih
bingkisan apa?” tanya Nisa lirih.
“Hmm mungkin bunga.” Jawabku singkat. “Bunga? Kenapa
bunga? Tumben.” tanya Nisa lagi.
“Gak tau, pengin aja beliin bunga buat dia. Rumah
sakit disana kan hampa banget. Pasti bagus kalo bunga jadi hiasan di kamarnya.”
jawabku sambil terus melangkah.
“Rencananya
mau beli bunga dimana? Aku ikut ya?”
“Boleh, rencananya sih di toko bunga depan café.” sambil
kutunjuk tempat itu.
“Toko bunga yang serem dan aneh itu? Serius kamu?”
“Serius”
Aneh.
Entah apa yang ada dikepalaku. Sepertinya ada yang menarikku untuk harus pergi kesana.
Ya, ke toko bunga itu. Hmm mungkin segelas susu dimalam hari bisa
menenangkanku.
“Kak Bobby, sejak kapan sih toko bunga di depan café
itu ada?” tanyaku sambil menuruni tangga.
“Oh, toko itu, sudah lama dek. Mungkin pas kamu
masih SD” jawab kakak.
“Terus itu emang dari dulu aneh kayak gitu kak?”
tanyaku lagi.
“Nggak dek, dulu seingat kakak, toko bunga itu rame
banget. Gak tau deh kenapa sekarang jadi aneh kayak gitu. Emang kenapa dek,
nanyak – nanyak terus?” tanya kakak balik.
“Besok aku mau beli bunga buat Ima disana kak. Buat
bingkisan gitu”
“Kamu yakin mau beli disana?” sontak kening kakak
mengkerut.
“Yakin kak” jawabku penuh percaya diri.
Di
perjalanan kuterus memegang tangan Nisa. Rasanya…..dingin, takut.
“Kamu sakit Far?” tanya Nisa panik.
“Gak apa apa sih Nis, cuman agak dingin aja.”
jawabku menenangkan Nisa.
Nisa langsung mengambil jaket biru dari tas
reeboknya. “Nih Far, pake aja dulu.” tawar Nisa.
“Makasih.” Kami pun terus melangkahkan kaki menuju
tempat itu dan……sampai.
Aroma
aneh menyelimuti tempat ini. Benar-benar menyeramkan. Tampak pot-pot bunga
banyak yang berdebu. Adapun sebuah meja kasir yang sangat kotor.
Kumencoba mengetuk pintu toko. “Permisi, halo, ada
orang?” tak ada satupun yang menyahut.
“Kayaknya gak ada orang Far, pulang yuk!” pinta Nisa
“Ntar dulu Nis. Kita lihat bunga-bunganya aja dulu.”
sahutku. Dan aku langsung masuk kesana.
Ternyata memang benar dugaanku, bunga disini banyak
yang layu. Tapi….mawar ini…
“Apa kau suka mawar ini nak?” seorang kakek dengan
tongkatnya berhasil mengagetkan kami.
“Oh, kakek penjual disini?” Tanyaku.
“Ya, ada yang bisa saya bantu?” tanya kakek pelan.
“Saya ingin mencari bunga untuk teman saya yang lagi
sakit.” jawabku.
Dengan gerak tangan yang pelan, kakek itu mengambil
setangkai mawar. “Ambilah mawar putih ini. Bunga ini cocok untukmu. Ambilah.”
Mawar ini cantik. Lain
dari semua bunga yang ada disini. Mawar ini seperti berbicara padaku. “Fara,
pulang yuk. Kan udah dapat bunganya.” Pinta nisa lagi.
“Ayo Nis. Kek, kita pulang dulu ya. Oh ya, berapa
harganya?”
“Ini gratis. Bawalah pulang. Tapi berhati-hatilah,
mawar putih ini bisa menghitam.”
“Fara,
aku bisa membawa kematian. Jadi jagalah aku. Fara, tak lama lagi aku akan
menghitam, seperti malaikat pencabut nyawa. Jika aku diberikan pada orang lain,
maka orang itu akan…..”
Mimpi itu telah membangunkanku dengan perasaan tidak
enak. Mimpi itu ibarat pesan yang tak kumengerti maknanya. Segera kuusap
keringat dingin didahiku. Dan saat aku menoleh, bunga itu masih ada di pot berisi air di meja belajarku. Bunga itu masih putih suci.
Di
Rumah sakit, kamar 312
Kulihat
Ima berbaring lemah, dengan wajah pucat dia berusaha menyapaku dengan senyum
manisnya. “Hai Fara, akhirnya kamu datang juga. Apa kabar?” tanya Ima dengan
suara serak basahnya.
“Aku baik Im, gimana penyakit kankermu? Apa sudah
membaik? Gimana kondisimu sekarang?” tanyaku dengan cemas.
“Aku gak apa apa kok Far. Oh ya, itu apa? apa itu
mawar? Tanya Ima penasaran. Dia melihat tangan kananku yang membawa sesuatu.
“Ya, ini mawar putih buat kamu. Moga kamu suka ya.”
Aku
berbaring lesu di tempat tidurku. Menikmati AC dan menonton TV. Sudah tiga hari
Ima gak ada kabar. Kata keluarganya Ima ke Malaysia untuk berobat.
Tapi….perasaanku tidak enak. Nisa datang ke rumah, entah mengapa seperti kebakaran
jenggot.
“Fara! Fara!” teriak Nisa di depan pintu.
“Kenapa Nis? Kok panik banget sih?”
“Ima Far, Ima. Ima udah gak ada.”
Dengan
berlinang air mata dan penuh sesal, kududuk disamping gundukan tanah dengan
nisan yang bertuliskan nama NUR IMA.
“Maaf Ima, aku gak bermaksud membunuhmu. Ternyata mawar itu telah merenggut
nyawamu yang tidak bersalah. Maaf Ima.”
Mawar itu telah menghitam. Mawar hitam yang kejam. Tergeletak disamping
gundukan tanah itu. Lekas ku melangkah pergi meninggalkannya.
Pagi
ini begitu cerah, kak Bobby dengan baju kaos, celana jeans dan sepatu kedsnya.
Dan aroma parfum khas kakak melengkapi penampilannya. Dia mengajakku minum kopi
di café biasanya. Di meja 07 kak Bobby memulai pembicaraannya.
“Dek, kak
Bobby ada sesuatu buat kamu.”
“Apaan kak?”
“Nih, bunga mawar putih. Moga kamu suka ya, adekku
sayang.”
“Kak Bobby beli dimana?”
“Tuh, di toko bunga depan café ini.”
Komentar
Posting Komentar